Sajak Sobirin Zaini
Adieu, Desember
3 Januari 2010 —narasi akhir tahun Sunyi mana lagi yang tak kutelan sepanjang tahun ini serpihannya berserak dalam lambungku menyusup ke seluruh pori-pori tubuhku dari aorta dan segenap pembuluh nadiku menari, menyanyi, bergumam sendiri menjilat-jilat seperti api yang bahangnya kesana kemari mengakar bak seruk, kuat karena terendam dendam amuknya meluap, meluluhlantakkan almanak yang tak henti memacu kaki waktu memecah ombak menyeruak dan laju menghentak-hentak! Lalu berkatalah malam pada lelaki yang menelan sunyi sepanjang tahun itu: kugelapkan diriku setelah kutahu, bulan pergi jauh meninggalkanku.. Ah, bulan, masih perlukah kau untuknya gelap adalah sesuatu yang tak mungkin kau suka lebih baik kau putuskan bahwa bintang barangkali lebih baik untuk diterima setelah berbagi cahaya dan kedipnya menggoda takkan ada yang cemburu karena ia telah lama dikutuk rindu memamah puisi sepanjang waktu menyusun luka di dada setelah retaknya seribu merangkai-rangkai sayap yang belahnya tak tentu Ah, bulan, bukankah kau juga akan bicara dengan dirimu sendiri bahwa gelap menurutmu adalah sembilu yang kau tebarkan di tiap gagang rindu yang kau lepas sementara ini waktu, tapi kau cari setelah perlu tak usahlah kau hiraukan gelap yang bernama malam itu sengatan mimpi pada ujung syaraf telah cukup membuatnya menepis kecemasan yang terlanjur ada di belakang kepala yang tak mungkin akan ia tinggalkan di mana-mana seperti juga engkau membingkaikan bayangan setelah cahaya itu telah lama kau padamkan Dan di sini, ia bicara; …aku tetaplah batu yang kau letakkan di ujung tubuhmu dari puing Januari yang berduri di dua belas hitungan jari aku tak lebih hanya sengau lenguhan getir yang kuriwayatkan dalam kitab-kitab renta luka tak dibaca, tak dicerna, tak diapa-apakan hanya setakat dipijak, dihenyak, dilanyak, disentak!!! Akulah itu wujud gelapnya puisi yang kemudian kuberi nama: Luka.. Setelah itu, menyeringai jugalah senja dari pintu Januari entah kenapa lagi-lagi senja, katanya, tentu itu adalah pintu rumah kelam yang telah ia temui sepanjang dua belas hitungan yang perihnya tak hilang seperti bayang yang coba engkau tinggalkan setelah cahaya kau padamkan Lalu, tergagaplah ia meniup terompet kematian di kota tak bernama, di bawah sengat duri sunyi gelap bernama malam itu kini berubah wujud menjadi dirinya sendiri …ketika aku masih sibuk membangun rumah kenangan tak berpenghuni banyak pesan yang tertinggal di simpang pelayaran lantunan sunyi tak pernah tentukan pilihan jawaban dan ia menjadikan gelap bernama malam menyeluruh kedalam tiap sendi tubuhku sepanjang tahun… Di mozaik yang lain, tentang ujung hitungan ia tiba-tiba kembali pada sebuah ruangan serba putih mereka tak pernah tahu siapa, yang mereka tahu hanyalah batu dari musim ke musim yang tertulis sebuah rajah tanda dari jejak lelaki yang menyampaikan kisah tentang gelap yang ditawarkan malam jadi sesuatu yang kini, sama sekali tak menarik bagi bulan bersembunyi di entah ceruk mana sepanjang tahun itu Dan tak terasa, bayangan demi bayangan berkejaran dua belas kali hitungan gelap dalam genggamannya kini harus dilepaskan sepanjang pergantian musim, berbagai cerita, kenangan dan luka jadi catatan abadi dalam batok kepala dan ruang hampa jantungnya entah sampai disini, atau memang benar-benar pergi setelah ini dengan lunglai ia abaikan, gegas menuju sebuah persinggahan tempat ia biasa menyeduh gigil puisi mendidihkan sebak pada derajat keperihan biar setelah itu, bulan tetap sesuatu yang menawarkan misteri tentang sebuah pilihan absurd yang tak kunjung terurai setelah barangkali, di mozaik ini, ia kemudian mampu melelapkan diri di ranjang yang ia ukir dengan berbagai harapan dan melafalkan satu kalimat asing yang telah ia siapkan jauh hari sebelum itu dengan tatapan nyalang penuh keberanian pada Januari yang membukakan pintu pelayaran demi pelayaran rspmc, Ujung Desember, 2009 Catatan: Adieu (Italia)= selamat tinggal Sobirin Zaini, menulis dua genre sastra (puisi dan cerpen) lalu membaca berbagai buku. Buku puisinya, Balada Orang-orang Senja, menjadi buku Pilihan Sagang 2009. Bersama kawan-kawan Pers Kampus AKLaMASI UIR menggerakkan Program “Cinta Buku, Gemar Membaca”. Budak Melayu Bengkalis ini memilih jadi seniman di tengah hiruk pikuk penerimaan pegawai negeri. Email: reinzaima@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar